17 Mar 2010

unforgetable Tetop...


Sekitar bulan oktober tahun 2009, saya dan 4 petugas medis menempuh jam perjalanan darat ke kampung Tetop dalam rangka program SAVE PAPUA. Tetop masuk dalam wilayah distrik Iniyandit. Untuk mencapai distrik Iniyandit memakan waktu 2 jam dengan sepeda motor dari distrik Mindiptana. Dari distrik Iniyandit ke kampung Tetop memerlukan waktu 6 jam dengan berjalan kaki. Jika jalan kering dan tidak hujan bisa dipaksakan dengan sepeda motor yang memakan sekitar 3 jam. Perjalanan kami begitu melelahkan karena cuaca yang awalnya mendung tiba tiba jadi terik. Obat obatan dan kelambu sudah kami kirim duluan dengan ojek motor. Kondisi jalanan begitu parah karena kondisi jalan lumayan licin dan sebagian sudah tertutup dengan semak belukar. Maklum jalan ke Tetop sudah lam tidak dilalui kendaraan roda 4. Karena tidakada satupun dari kami yang pernah ke Tetop jadinya kami putuskan untuk berjalan kaki saja. Pikir kami paling 1-2 jam sudah sampe. Wah ternyata jalan kaki yang dimulai tengah hari bolong nyampenya nanti pas menjelang petang. Dalam perjalanan semua pada frustasi. Udah jalannya lumayan licin tapi kok ini kampung gak nongol2. Sampai2 ada yang ngotot pengen pulang saja. Tapi sebagai ketua tim saya putuskan untuk tetap jalan, mengingat obat obatn dan kelambu sudah dikirim duluan. Lagipula masyrakat Tetop juga jarang mendapat pelayanan kesehatan. Karena Tim sebelumnya tidak sempat mengunjungi kampung ini. Kami beberapa kali istirahat ditengah perjalanan. Badan dan kaki yang udah kecapean membuat kami tidak peduli lagi untuk rebahan dimana saja.dirumput atau tanah yang kering tidak masalah asal bisa mengumpulkan tenaga buat melanjutkan perjalanan. Air minum yang masing masing kami bawapun diminum sehemat mungkin, karena tidak ada yang tau kapan kami akan sampai.
Menjelang gelap kamipun akhirnya sampai dikampung. Dari kejauhan sudah terdengar sayup sayup nyanyia sedih seorang perempuan. Ternyata nyanyian sedih ini buat seorang anak yang baru saja meninggal akibat gigitan ular. Terlambat, mungkin kalo kami datag lebih cepat kami bisa berbuat sesuatu.
Keesokan paginya kamipun siap siap melakukan pengobatan. Setelah perut diisi dengan petatas rebus dan segelas teh hangat. Sangat senang melihat masyarakat yang begitu antusias menyambut kami. Hal ini jelas sebagai bukti betapa rindunya mereka akan jangkauan pelayanan kesehatan. Kebanyakan masyarakat tetop menderita ispa, kaskado dan sakit sakit badan. Penyakit umum yang sering dijumpai dimasrakat awam.selain pengobatan umum juga dilakukan pemeriksaan malaria, pemeriksaan dan pembagian kelambu untuk ibu hamil dan bayi balita. Anak anak gizi buruk juga sempat tercatat dan hal ini bukanlah pemandangan luar biasa dipedalaman papua.
Perjalanan yang panjang dan begitu melelahkan sehari sebelumnya terbayar oeh sebuah pemandangan surga didepan kami.bukan cuman satu tetapi dua buah air terjun !!!. tak ada yang bisa menahan diri. Tak ada perintah, semuanya begitu gembira, larut dalam rendaman air yang jernih. Badan dan kaki yang pegalpun hilang dipijit derasnya air terjun. Kami menghabiskan sisa hari kami ditelaga kecil ini. Andai kampung ini dekat dengan pusat distrik pastilah banyak orang yang akan ketempat ini, pikirku
Setelah menghabiskan 2 malam satu hari ditetop saatnya pun tiba untuk pulang.untungnya sehari sebelumnya ada ojek motor yang datang.kami pun memesan motor untuk menjemput kami. Setelah tawar menawar harga akhirnya kamipun sepakat membayar 500ribu permotor. Setelah dihitung hitung duit habis 2,5 juta hanya buat mengantar kami pulang. Yah gpp lah asal gak mati ditengah jalan aja. Itulah sedikit cerita tentang kampun Tetop, sebuah kampung dipedalam Boven Digoel, perjalanan darat yang begitu melelahkan, surga air terjun yang tidak terlupakan serta ongkos ojek yang sangat mahal. Benar benar sebuah pengalaman yang tidak terlupakan...its really Unforgetable Tetop.



Enang * ibu ibu
Poro* perut

sulitnya hidup dipedalaman...


Jika berbicara tentang sulitnya hidup dipedalaman papua membuat saya teringat akan pengalaman waktu ptt dibomakia. Sulitnya kehidupan bagi orang asli papua khususnya orang Awuyu yang saya jumpai membuat mereka tidak punya banyak pilihan. Terutama dalam hal menu makanan mereka. Ceritanya begini. Waktu itu sekitar jam setengah delapan pagi saya sedang mempersiapkan sarapan. Seorang ibu datang ke rumah mengetuk pintu. hhmm pikirku dia datang untuk berobat.
“pak dok, saya boleh bawa itu kah?” pinta sang enang, menunjuk pada seekor tikus yang sudah mati yang saya bunuh tadi malam.
“yang mana enang?” tanya saya tidak percaya
“tikus itu, depan kintal rumah” jawab enang
“buat apa enang? “ tanya saya setengah berpikir paling2 buat diberikan anjing peliharaannya
“buat bakar toh, pulang makan” jawab enang setengah memelas.
Ha? Tikus rumah yang semalaman mati buat dimakan? Enang ini bercanda apa serius? Bener bener kesulitan hidup membuat mereka tidak punya pilihan. Harga2 sembako yang gila gilaan dipedalaman akibat ongkos angkut yang mahal membuat semuanya jadi tambah runyam. Belum lagi masyarakat yang tidak punya sumber penghasilan tetap. Kehidupan masyarakat juga kelihatan sangat primitif, terlalu bergantung pada alam. Keinginan untuk bercocok tanam masih sangat minim. Kadang kala saat tim kesehatan melakukan pusling( puskesmas keliling) masyarakat tidak ada di tempat. Semua pada masuk hutan. Yang ada paling orang orang tua yang tidak kuat jalan jauh lagi. Jadi kami sering mensiasati dengan memberi tahu pada masyrakat kampung asal yang kebetulan lagi turun ke distrik. Berbeda dengan masyrakat Muyu yang mayoritas katolik. Kehidupannya jauh lebih maju. Masyarakatnya sudah mengerti bercocok tanam. Hal ini bisa dilihat dari pasar yang rame oleh enang2 penjual sayur sayuran, ikan, buah buahan dan hasil hutan lainnya. Distrik Mindiptana yang didiami oleh masyarakat Muyu sangat terkenal akan produksi buah duriannya. Selain itu di tempat ini juga sebagai penghasil karet utama kabupaten Boven digoel.
Kembali ke cerita tikus dan enang Awuyu tadi.
“tikus buat makan? Ahh jangan enang. Nanti enang poro sakit” jawab saya menjelaskan.
lalu saya pun meninggalkan enang kembali ke dapur. Tidak berapa lama karena penasaran saya balik lagi ke teras rumah. Dan dari kejauhan tampak enang berjalan santai sambil menenteng tikus itu...

Arwana Goreng

Masih teringat dua tahun lalu ketika tugas pertama kali sebagai dokter PTT dipedalaman Boven Digoel Papua. Distrik Bomakia, sebuah distrik yang terletak dialiran kali Mapi, dapat dijangkau dengan penerbangan perintis dengan pesawat twin otter dengan lama tempuh satu jam dari kabupaten Merauke. Untungnya waktu itu dan sampai saat ini harga tiket masih disubsidi. Sekitar 150 rb per orang, sangat murah untuk harga pedalaman.
Saat itu sekitar bulan desember tahun 2007. Cuaca cukup panas, bahkan seingat saya sebagai musim kering terlama dan surutnya air kali mapi yang terdalam yang pernah saya alami. Air kali yang surut berarti pertanda baik, karena akan mudah mendapatkan ikan dan udang sungai. Cara menangkap ikan masih sangat tradisional, meski saat ini sudah ada yang memakai jaring. Sebelumnya masyarakat lebih banyak menangkap dengan cara memanah ikan ataukah dengan molo. Saya tidak pernah melihat ikan air tawar yang begitu besar. Ada gurami dengan bibirnya yang doer yang lebarnya hampir 3 telapak tangan orang dewasa, ikan gabus seukuran paha manusia dewasa, sampai ikan arwana yang panjangnya hampir semeter. Berbeda jika ikan ini di ibukota kabupaten pastilah harganya akan melambung tinggi. Untuk ikan gurami yang paling besar di distrik bomakia paling mahal dihargai 50 ribuan. Lumayan murah untuk harga pedalaman.
Saya sangat senang melihat ikan arwana langsung dari habitat aslinya. Tak pernah terpikir sebelumnya apalagi sampai mencicipi arwana goreng. Arwana jenis silver ini sangat banyak dijumpai dikali mapi. Sebenarnya rasa arwana tidak terlalu enak, agak sedikit hambar. Tapi gpplah demi prestise dan rasa ingin tau bisa mengalahkan segalanya. Ada yang mau mencoba? Ke papua sudah....

Molo * menyelam

Bembai tanda keakraban...

Disetiap tempat dan setiap komunitas di dunia ini pastilah memiliki ciri khas kebudayaannya sendiri. Begitu juga dalam hal mengungkapkan tanda keakraban/persahabatan dengan orang lain. Hal ini dapat berupa berjabat tangan yang umum dilakukan sampai pada bentuk pengungkapan yang unik. Seperti pada beberapa suku dibelahan amerika selatan yang saling menyentuhkan hidungnya, atau ada juga suku Fayu di pedalaman Papua barat yang saling menyentuhkan keningnya sebagai simbol keakraban; seperti yang tertulis dalam buku “jungle child” karangan Sabine Kuegler.
Bembai merupakan simbol keakraban diantara orang orang Muyu yang berdiam didaerah papua bagian selatan. Jujur saya tidak pernah menemukan kata yang pas dari bembai ini. Kadang ada yang mengucapkannya bimbei,bimbai, atau bibei. Ala whateverlah, asal jangan beibe aja...hehehe. bimbei dilakukan dengan menjepitkan jari telunjuk dan jari tengah kita dengan jari telunjuk teman, atau bisa juga sebaliknya. Kemudian keduanya masing masing menarik jari-jarinya sampai timbul bunyi yang khas. Bembai kadang kala dilakukan berulang kali pada orang yang sama, hal ini biasanya oleh mereka yang telah lama tidak bertemu.
Setahu saya bimbei hanya dilakukan oleh orang orang Muyu saja, karena dulu sewaktu saya tugas di daerah yang didiami oleh orang Auyu mereka menolak melakukan bimbei. “pak dok itu orang Muyu dong punya cara, kita disini tidak kenal bimbei” begitu kata mereka. Inilah sedikit cerita tentang budaya orang Muyu. Jadi apa simbol keakraban di tempat kalian...?

gula gula amoksisilin...

Tulisan ini sengaja saya buat untuk membuka pikiran kita tentang begitu rendahnya pengetahuan masyarakat asli papua di tempat saya mengenai penggunaan antibiotik amoksisilin. Tidak mengherankan mengapa tingkat resistensi mikroba terhadap amoksisilin begitu tinggi. Obat ini dijual bebas seperti “gula-gula”. Jangankan di kios kios kelontongan, di apotik yang mestinya pake resep aja amoksilin bisa dijual bebas. Pernah suatu waktu saya keapotik buat beli multivitamin, terus ada satu pace dia datang mau beli obat.....
“cari apa pace” tanya petugas apotik
“ada amoksilinkah?” tanya pace
“ada, sepuluh ribu satu strip” kata si petugas.
“pace, beli amoksilin buat apa?” tanya saya pengen tau..
“buat sakit kepala” kata si pace
Alamak......
Begitulah, amoksilin digunakan bak obat dewa yang bisa menyembuhkan semua jenis penyakit.
“pak Dok, ada obat kapsulkah?”begitu kata mereka.
Tingkat pengetahuan yang rendah membuat penyalahgunaan amoksisilin menjadi begitu muda. Halini diperparah oleh kelakuan pedagang atau penjual obat yang hanya mencari keuntungan semata. Tampaknya perlu lebih banyak lagi penyuluhan dan pengawasan penggunaan obat yang benar, khususnya amoksisilin.